Ternyata eh Ternyata?


Pembangun jalan arteri Porong pengganti ini sepenuhnya dibiayai dari APBN (sumber: Kompas.com)

Walaupun Partai Golkar bagian dari Setgab Partai Koalisi Pendukung Pemerintah, ketika Golkar mendukung kenaikan harga BBM dengan persyaratan tertentu (Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012) bukan berarti Golkar benar-benar murni konsisten memegang komitmen sebagai konsekuensi bagian dari Setgab itu. Juga bukan semata-mata demi kepentingan rakyat banyak sebagaimana sering dikoar-koarkan. Sebab ternyata ada “misteri” di balik dukungan tersebut. Atau, lebih tepatnya ada jual-beli dukungan di baliknya. Jual-beli tersebut tentu saja antara Golkar dengan pemerintah yang didukung sepenuhnya oleh Demokrat sebagai parpol-nya SBY.

Ternyata, di balik hiruk-pikuknya Rapat Paripurna DPR, 30 – 31 Maret 2012 yang membahas tentang rencana kenaikan BBM bersubsidi tersebut telah membuat “lupa” segenap anggota DPR terhadap keberadaan suatu pasal yang sebetulnya sangat berpotensi mengeruk dalam anggaran negara.

Ironisnya anggaran yang dibebankan kepada negara itu seharusnya merupakan tanggung jawab pihak swasta, tetapi melalui tahapan dugaan konspirasi dan jual-beli jasa politik tertentu berhasil dialihkan menjadi beban negara.

Itulah dugaan adanya “konspirasi terbaru”, berupa deal-deal politik di balik layar antara Presiden SBY/Demokrat dengan Aburizal Bakrie/Ketua Umum Golkar, peanggung jawab bencana Lumpur Lapindo yang telah berlangsung selama lebih dari 6 tahun itu. Beban-beban anggaran yang jumlah triliun rupiah yang harus menjadi tanggung jawab pihak Lapindo (Aburizal Bakrie) dengan enteng dipindahbebankan kepada negara.


Setelah biaya pembangunan kembali infrastruktur dibebankan kepada negara, kini anggaran untuk membayar ganti rugi warga pun dibebankan kepada negara lewat Pasal 18 UU APN-P 2012 (sumber: khasanahanakbangsa.com)

Entah disengaja ataukah tidak Rapat Paripurna DPR pada waktu itu menjadi hiruk-pikuk, disertai atraksi-atraksi dagelan bak anak-anak TK, dan pembahasan-pembahasan hal-hal tak substansial yang dipanjang-panjangkan waktunya. Seperti hanya untuk menentukan apakah batas waktu rapat diperpanjang ataukah tidak dibuat bertele-tele. Bahkan sampai harus ditentukan lewat voting!

Hanya untuk membahas setuju-tidaknya batas waktu rapat ditambah satu jam menjadi pukul 01.00 WIB dini hari, dari semula pukul 12.00 WIB memerlukan waktu sampai sekitar 30 menit. Alhasil ketika kesepakatan dicapai, waktu penambahan itu hanya tersisa 30 menit.

Lewat hiruk-pikuk yang mungkin saja direkayasa itu, semua konsentrasi anggota DPR tercurah pada masalah kenaikan harga BBM yang diatur lewat mekanisme APBN 2012 itu. Membuat mereka menjadi lupa dan “lupa” kalau ada satu pasal di dalam (RUU) APBN-P 2012 itu yang sangat merugikan keuangan negara. Akibatnya karena RUU APBN-P 2012 itu telah disahkan oleh DPR, maka otomatis pasal tersebut pun lolos.

Pasal itu adalah Pasal 18 UU APBN-P 2012, yang secara khusus mengatur tentang alokasi dana APBN untuk penanggulangan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Padahal sebelumnya beban biaya ini sepenuhnya telah disepakati menjadi tanggung jawab pihak Lapindo.

Di dalam pasal 18 UU APBN-P 2012 itu ditentukan bahwa alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tahun anggaran 2012 dapat digunakan untuk melunasi :

a. Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa (Besuki, Kedungcangkring, dan Pejarakan);

b. Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Siring, Jatirejo, dan Mindi);

c. Bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya yang ditetapkan melalui perpres.

Rupanya, selama ini, “kebaikan” Pemerintahan SBY kepada pihak Lapindo untuk menanggung biaya perbaikan dan penggantian infrastruktur, seperti membangun jalan arteri dan jalan tol Porong pengganti yang sudah menghabiskan uang negara beberapa triliun rupiah itu dirasakan belum cukup juga.



Spanduk gambar Aburizal Bakrie yang dibakar warga korban lumpur Lapindo, Maret 2012 (sumber: detik.com)

Maka dengan memanfaatkan momen niat pemerintahan SBY menaikkan harga BBM yang memerlukan dukungan politik Golkar, diam-diam diadakan jual-beli jasa politik tersebut. Deal-nya: Golkar akan mendukung pemerintah menaikkan harga BBM. Kompensasinya biaya untuk penangggulangan bencana lumpur Lapindo untuk membayar ganti rugi warga yang terkena dampak lumpur Lapindo juga “diambil-alih” negara lewat APN 2012.

Rupanya inilah yang membuat Aburizal Bakrie sempat memberi pernyataan yang menjanjikan bahwa penyelesaian proses pembayaran tanah/ganti rugi, dan lain-lain terkait korban lumpur Lapindo akan tuntas di tahun 2012 ini juga.

“Tahun ini akan selesai,” ujar Aburizal Bakrie usai meresmikan Kantor DPD Partai Golkar di Kabupaten Malang (detik.com, 15/03/2012).

Kalau kondisi pada waktu menjelang pembahasan kenaikan harga BBM di DPR pada 30-31 Maret 2012 itu tidak sampai sedemikian panasnya, kemungkinan Golkar akan mendukung sepenuhnya kenaikan harga BBM itu tanpa syarat. Yang berarti, kenaikan BBM terjadi pada 1 April 2012 lalu. Tapi, karena waktu itu suasana semakin panas oleh aksi unjuk rasa. Terutama sekali di luar Gedung DPR, maka “terpaksa” diambil jalan tengah, dengan membuat dan memasukkan Pasal 7 ayat 6a tersebut.

Pelaksanaan dari Pasal 18 UU APBN-P 2012 tersebut di atas sudah mulai dibicarakan secara resmi pada 1 April 2012 oleh Badan Anggaran DPR. Dana APBN itu dianggarakan untuk memberi ganti rugi kepada warga 64 RT. Badan Anggaran DPR itu telah sepakat untuk pencairan dana uang muka sebesar 20 persen dari seluruh biaya penggantian kerugian. atau sebesar Rp. 463.125.701.000, ditambah dengan anggaran jatah hidup warga sebesar Rp. 56.145.234.000. Jadi, dalam waktu dekat ini pemerintah sudah harus “membantu” Lapindo/Aburizal Bakrie dengan dana dari negara sebesar Rp. 519,27 miliar.

Delapan puluh persen sisa biaya ganti rugi warga korban lumpur Lapindo telah disepakati untuk dimasukkan dalam RABPN 2013.

Realisasi pencairan dana tersebut di atas hanya tinggal menunggu revisi keempat Perpres Nomor 14 Tahun 2007. “Menteri Keuangan dan Menteri PU sudah menandatangani draft-nya. Kini, pencaitan masih menunggu di meja Presiden,” kata Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo Emir Firdaus (Jawa Pos, 05/04/2012).

Perpres Nomor 14 Tahun 2007 itu memang sudah tiga kali direvisi Presiden SBY. Sekarang adalah revisi yang keempat. Semua revisi-revisi tersebut tersirat dengan jelas mengikuti situasi dan kondisi (politik) dalam rangka mengakomodasi kepentingan pihak Lapindo/Aburizal Bakrie. Sebagai wujud dari kompensasi-kompensasi dukungan politik yang diperoleh dari pihak Golkar, dan juga balas jasa dukungan keuangan Aburizal Bakrie dalam pilpres yang dimenangkan oleh SBY.

Demikianlah nasib bangsa dan negara ini ketika dipimpin oleh penguasa dan pengusaha seperti sekarang ini.

Sumber :
Harian Jawa Pos, Kamis, 05 April 2012.
kompas.com




Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...